Monday, May 7, 2012

Nasionalisme dan Budaya Asing

Sebagai bukti tingginya sifat nasionalisme kita, sering kita mengatakan “Cegah merembesnya budaya asing ke dalam negeri kita!” Kitapun mengatakan pornografi, pornoaksi, sex bebas, hilangnya rasa hormat pada orang tua, dan hilangnya rasa kekeluargaan sebagai bukti pengaruh buruk dari budaya asing. Kitapun jadi sering menyatakan bahwa kita harus kembali ke khitah asal kita, ke kebudayaan asli kita agar tak mengalami dekadensi ini. Begitu seringnya kita melakukan dan melihat hal ini, kita menjadi merasa itulah cara yang benar untuk membela kepentingan bangsa dan negara kita. Apakah memang demikian?

Sebelum kita memulai perdebatan ini, kita harus mendefinisikan manakah budaya asli kita, dan otomatis semua yang tak merupakan budaya asli kita adalah budaya asing. Kaum Muslim biasanya akan menunjuk ke Qur'an dan agama Islam sebagai budaya asli kita.

Maaf, tapi, agama Islam berasal dari Jazirah Arabia, bukan dari Indonesia. Begitu pula agama Kristen, dan Katolik, berasal dari daerah Palestina, bukan dari Indonesia. Begitu pula agama Hindu dan Buddha, berasal dari India. Begitu pula agama Konghucu berasal dari Cina. Kesimpulan: Sebagian besar dari anda tidak menganut agama asli Indonesia.


Ketika kita mengamalkan ajaran keenam agama tsb, sedikit banyak kita mempraktekan budaya asing. Bukankah jilbab dan burqa adalah asli Arab? Bukankah toga yang dikenakan pendeta Kristen itu adalah baju Romawi? Namun, ketika kita mengamalkan salah satu dari keenam agama itu, kita mendadak mendapat cap “Saleh” dan “Bertaqwa” bukannya “Dekaden” atau “Kehilangan jati diri.”

Kenapa memakai standard ganda? Kenapa kita menolak budaya “Asing” yang satu sementara mempraktekkan budaya asing yang lain?

Ternyata, banyak dari kita yang menganggap budaya yang muncul akibat 6 agama non Indonesia ini adalah budaya asli Indonesia. Bila hal ini kita terima, kita otomatis menerima fakta bahwa budaya Indonesia bukanlah sesuatu yang kaku, tapinya sesuatu yang dinamis, yang bisa menerima sesuatu yang baru, yang bisa berubah.

Penulis ingin menunjukkan kontradiksi ini. Ketika kita mengatakan kita ini nasionalis, bukan berarti kita harus menolak semua pengaruh dari budaya asing. Kita menjadi munafik ketika kita menolak budaya asing yang satu. lalu mempraktekkan budaya asing yang lain sambil berkata kita adalah seorang nasionalis. Tentu saja anda dipersilahkan menolak pengaruh budaya asing berdasarkan agama anda. Hal ini jelas hal yang amat berbeda dengan menolak budaya asing berdasarkan rasa nasionalisme.


No comments:

Post a Comment